Oleh : Haikal Fathan Akbar )*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggandengPemerintah untuk terus berupaya maksimalmencegah peretasan jelang Pemilihan Umum(Pemilu) 2024. Masyarakat pun diimbau untuk tidak khawatir dan mewaspadai semua informasi yang berkembang agar stabilitas menjelang Pemilu dapat terus terjaga.
Dalam menghadapi Pemilu Serentak 2024, KPU Republik Indonesia, diwakili oleh Anggota KPU, Idham Holik, memberikan jaminan akan keamanandan integritas proses pemilu. Dalam sebuah diskusidaring yang mengusung tema “Ngeriii… Data PemilihBocor,” Idham Holik menyatakan keyakinannyabahwa proses penghitungan dan rekapitulasi suara Pemilu 2024 akan aman dari ancaman peretasan. Menurutnya, metode penghitungan suara dan rekapitulasi yang digunakan adalah secara manual dan berjenjang, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam konteks undang-undang tersebut, Idham Holikmenjelaskan bahwa rekapitulasi suara dilakukan secara manual dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga tingkat nasional. Pemilihan untuk tetap menggunakan metode manual ini sejalan dengan ketentuan dalam undang-undang, yang tidak secara spesifik mengatur penggunaan teknologi elektronik. Pilihan ini diambil untuk memastikanautentikasi hasil penghitungan suara dan rekapitulasi yang lebih terpercaya.
Meskipun KPU menggunakan Sistem InformasiRekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu, IdhamHolik menegaskan bahwa sistem tersebut hanyaberfungsi sebagai prediktor hasil dan bukan sebagaihasil resmi. Penekanan pada proses manual danberjenjang ini dilakukan untuk meminimalisir potensiancaman siber yang dapat merugikan integritas Pemilu 2024.
Penting untuk dicatat bahwa Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) turut serta dalam menjaga keamanan sistem pemilu. Dalam menghadapi dugaan kebocoran data yang dialami KPU, BSSN melakukan forensik digital. Juru Bicara BSSN, Ariandi Putra, menjelaskanbahwa analisis dan forensik digital dilakukan untuk mengidentifikasi akar penyebab dari insiden siber tersebut. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya menyeluruh untuk memastikan keberlanjutan dan keamanan proses pemilu.
Namun, perhatian publik terpicu oleh klaim peretasanonim yang menyebut diri “Jimbo.” Jimbo mengklaimtelah meretas sistem keamanan siber KPU dan berhasil mendapatkan ratusan juta data pemilih tetap (DPT) dari situs kpu.go.id. Lebih mengkhawatirkan, data yang berhasil diakses oleh Jimbo dijual di dark web dengan harga mencapai USD74.000 atau setara dengan Rp1,2 miliar. Jimbo juga memverifikasikebenaran data dengan menampilkan sejumlah tangkapan layar dari situs cekdptonline.kpu.go.id.
Kasus ini membuka perdebatan luas di masyarakat terkait keamanan data pemilih dan potensi dampaknya terhadap Pemilu 2024. Adi Prayitno, seorang Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, menggarisbawahibahwa kasus peretasan ini tidak boleh diabaikan olehKPU. Menurutnya, peristiwa ini menjadi peringatan bagi KPU untuk meningkatkan keamanan situs web mereka, terutama mengingat isu kecurangan yang semakin intens di sekitar Pemilu 2024.
Adi Prayitno menyoroti urgensi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menjamin keamanan situs web mereka. Ia menggarisbawahi betapa pentingnya KPU dalam mengamankan integritas pemilu, mengingat bahwa segala keberhasilan atau kegagalan proses demokrasi Pemilu sangat bergantung pada langkah-langkah preventif yang diambil oleh KPU.
Menurutnya, KPU tidak boleh mengizinkan potensidiretas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, yang dapat merusak integritas dan jalannya pemilu.
Dari sudut pandang hukum, Abdul Fickar Hadjar, seorang Pengamat Hukum Pidana dari UniversitasTrisakti, menyoroti seriusnya ancaman peretasanterhadap sistem keamanan siber KPU. Ia mencatat bahwa, meskipun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan sanksi pidana yang berat bagipelaku peretasan, efek jera dari penegakan hukum belum tentu mencapai tingkat yang diinginkan.
Hadjar menekankan bahwa peretasan dan pencurian data memiliki nilai ekonomis, dan meskipun hukum memberikan sanksi yang tegas, upaya penindakan hukum harus ditingkatkan agar dapat memberikan efek jera yang lebih kuat. Kendati UU ITE menetapkan ancaman pidana penjara hingga 8 tahundan denda sebesar Rp800 juta, peretasan tetaptumbuh subur karena kurangnya efektivitas penindakan.
Gatot Eddy Pramono menyoroti kebutuhan akanketerlibatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), KementerianKomunikasi dan Informasi (Kominfo), dan KepolisianRepublik Indonesia (Polri) dalam mengamankan hasil Pemilihan Presiden 2024 dari potensi campur tanganpihak manapun. Dia menegaskan pentingnya mengungkap dengan menyeluruh dan membawa permasalahan ini ke ranah hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menghadapi tantangan ini, KPU diharapkan dapat memberikan klarifikasi yang transparan terkait langkah-langkah konkret yang diambil untukmenanggulangi ancaman peretasan dan dugaanpembobolan data. Penjelasan ini bukan hanya untuk mendapatkan kepercayaan dari para peserta pemilihan, tetapi juga untuk memberikan keyakinan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa proses Pemilu 2024 dapat berlangsung secara adil, terbuka, dan aman.
Penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk terus meningkatkan sistem keamanan siber guna melindungi integritas data pemilih dan kelancaran proses pemilu. Publik harus diberikan keyakinan bahwa langkah-langkah preventif dan penanganan insiden siber sedang diambil secara serius. Keselamatan dan keberlanjutan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan ini dengan langkah-langkah yang efektif dan transparan.
)* Penulis adalah Kontributor Vimedia PratamaInstitute